Selasa, 12 April 2016

komoditi hortikultura apel

Mengidentifikasi Satu Jenis Tanaman Hortikultura Dan Menjelaskan Mengenai Asal, Botani, Produsen Dan Konsumen Utamanya

APEL
Apel pertama kali di tanam di Asia Tengah, dan kemudian berkembang ke seluruh daerah di dunia. Apel yg di budidayakan adalah keturunan dari Malus sieversii asal Asia Tengah, dengan sebagian genom dari Malus sylvestris (apel hutan/apel liar).
Jika di lihat dari segi botaninya, apel di klasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom         : Plantae
Divisi               : Magnoliophyta
Class                : Magnoliopsida
Ordo                : Rosales
Famili              : Rosaceae
Genus              : Malus
Species            : Malus domestica

Morfologi
Adapun morfologi dari apel yaitu  pohon, tinggi 5 – 12 cm.  Akar tunggang,  putih kecoklatan. Batang  bulat, tegak, berkayu, permukaan kasar, coklat, daun  tunggal, tersebar, lonjong / oval, tepi daun bergerigi teratur, ujung daun meruncing, pangkal daun tumpul, daging daun agak tebal, kaku, mengkilat, pertulangan daun menyirip, panjang 9 – 14 cm, lebar 3 – 5 cm, hijau, permukaan lainnya coklat. Bunga  bertangkai pendek, bertandan dan pada tiap tandan terdapat 7 – 9 bunga, bunga apel tumbuh pada ketiak daun, mahkota bunga berwarna putih sampai merah jambu. Buah mempunyai bentuk bulat sampai lonjong, bagian pucuk buah berlekuk dangkal, kulit agak kasar dan tebal, pori-pori buah kasar dan renggang, buni, mengkilat, buah apel biasanya merah di luar saat masak (siap dimakan), namun bisa juga hijau / kuning, dagingnya keras, ada banyak bibit di dalamnya. Biji  pipih, panjang sekitar 1 cm, berkeping dua, masih muda putih setelah tua hitam

Pematangan dan pemetikan
Jenis apel bervariasi dalam hasil dan ukuran pohonnya, ada beberapa jenis, yang jika dibiarkan tanpa dipangkas, pohonnya akan tumbuh menjadi sangat besar, sehingga dapat berbuah lebih banyak, tetapi akan menyulitkan pemetikan. Pohon yang matang biasanya mampu berbuah 40–200 kilogram apel setiap tahun. Pohon kerdil dapat berbuah 10–80 kilogram apel setiap tahunnya.

Penyimpanan
            Buah apel biasanya dapat di simpan selama berbulan – bulan di dalam ruangan yang dapat di atur suhunya untuk menunda pemasakan yang di akibatkan oleh hormon etilen. Buah apel biasanya  di simpan di dalam ruangan yang meiliki karbon dioksida yng lebih kental dengan pengembunan  udara yang tinggi untuk mencegah peningkatan hormon etilen, dan memperlamat pemasakan buah. Untuk penyimpanan di rumah, kebanyakan jenis apel dapat di simpan sekitar 2 minggu bila di simpan di dalam lemari pendingin dengan suhu di bawah 5%.




Hama dan penyakit
Daun apel yang dirusak serangga.
Pohon apel dapat diserang beberapa penyakit jamur dan bakteri, serta mendapat ancaman dari hama. Pohon apel kebanyakan diserang oleh  jamur, kutu dan kudis.
§  Jamur
Gejalanya yaitu berupa bercak kelabu muda muncul pada daun, pucuk dan bunga, biasanya timbul pada musim semi. Bunganya berubah warna menjadi kuning sperti krim dan tidak berkembang dengan benar. Penyakit ini dapat dirawat dengan cara yang serupa dengan penumpasan Botrytis; penghilangan kondisi yang menyebabkan penyakit itu pada mulanya dan pembakaran tanaman yang terinfeksi merupakan tindakan yang disarankan untuk dilakukan.
§  Kutu
 Ada lima spesies kutu pada pohon apel, yaitu kutu bijian apel, kutu apel merah, kutu apel, kutu spirea dan kutu apel berbulu. Spesies kutu dapat dikenali melalui warnanya, musim kehadirannya, dan perbedaan pada kornikel, yaitu sepasang juluran di bagian belakang kutu.  Kutu menggunakan mulut yang berbentuk seperti jarum untuk menghisap sari tanaman.
§  Kudis apel:
  Gejalanya meliputi bercak-bercak berwarna hijau zaitun atau coklat pada daun. Bercak itu makin lama makin coklat, kemudian kudis coklat tumbuh pada buah apel. Daun yang berpenyakit gugur lebih awal dan buahnya semakin ditutupi kudis, lalu merekah kulitnya. Meskipun terdapat bahan kimia untuk mengatasi kudis, penggunaannya tidak dianjurkan karena mudah diserap oleh pohon lalu menyebar ke dalam buah.

Produsen dan Konsumen
            Produsen apel terbesar di dunia yaitu  China, dengan sekurang – kurangnya 55 juta ton apel di tanam setiap tahunnya dengan nilai sekitar $10 miliar. Produsen terbesar kedua yaitu Amerika  Serikat yang jauh di belakang China, dengan hanya memproduksi sebanyak 7,5% dari hasil panen dunia.  30% apel yg di expor amerika adalah apel jenis ‘Red Delicious’ yg berasal langsung dari negara bagian ini. Total expor amerika adalah 680.000 ton. Di Indonesia,  sentra produsen apel berada di Malang dan pasuruan Jatim. Konsumen apel dapat di lihat dari importir apel terb esar di dunia yaitu Rusia, Jerman, Britania Raya dan Belanda.


TUGAS
DEGRADASI DAN REHABILITASI LAHAN

“Penyebab Kerusakan Lahan di Lahan Pertanian dan Lahan Kering”










Oleh :
FENTI WULANDARI
C1M 013 060






FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
2016
1.   Permasalahan yang menyebabkan kerusakan di lahan pertanian

No
SDA
SDM
SDBM
Sosial Hukum
1.
Kondisi geografis
Pengguan pestisida berlebihan
Pencemaran industry

Terjadi konflik antara warga dan petani
2.
Curah hujan
Pemupukan yang tidak berimbang
Pertambangan dan galian C
Terjadi konflik antara sesame petani
3.
Polusi udara
Minimnya pengetahuan petani mengenai lahan pertaniannya
Alih fungsi lahan
Kesenjangan irigasi antar petak sawah petani
4.
Pemanasan global
Pengguanan alat berat pertanian
Pembangunan
Kurangnya awik-awik masyarakat petani
5.
Erosi
Pengolahan tanah secara terus menerus
Penggunaan mesin panen
Tidak ada Undang-Undang penggunaan pestisida dan pupuk
6.
Banjir
Sumber air irigasi terbatas
Penggunaan mesin tanam

7.
Terjadi pergeseran tanah
Tidak mengembalikan unsure hara setelah panen


8.
Letusan gunung berapi
Pola tanam secara terus menerus


9.
Kerusakan akibat Cyclon (angin topat)
Tidak adanya pergiliran tanaman


10.
Tanah dipermukaan menjadi merekah
Drainase yang buruk






11.
Tanah longsor
Membakar jerami



2.   Permasalahan yang menyebabkan kerusakan di lahan kering

No
SDA
SDM
SDBM
Sosial Hukum
1.
Kurangnya air
Penebangan hutan secara illegal
Pembangunan
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap lahan kering kritis
2.
Lereng curam
Kurangnya pengetahuan dalam mengelola lahan kering
Alih guna lahan
Tidak adanya upaya rehabilitasi lahan kering
3.
Erosi
Pencemaran lingkungan
Pertambangan
Minimnya sarana dan prasarana
4.
Kedalaman tanah rendah
Teknik budidaya yang salah

Pemanfaatan lahan kering yang salah
5.
Bahan organik rendah
Tidak mengembalikan unsur hara saat panen


6.
Longsor
Residu pestisida


7.
Pencemaran lingkungan
Residu pupuk


8.
Tekstur tanah yang buruk



9.
Gunung meletus



10.
Gempa/pergeseran tanah







Tingkat Residu Fungisida Methyl Thiophanate Dalam Tanah dan Pada Tanaman Kentang (Solanum tuberosum l.)


 








oleh :
fenti wulandari
c1m 013 060






fakultas pertanian
universitas mataram
2016
BAB I. PENDAHULUAN

1.1.        Latar Belakang
Penggunaan pestisida dalam bidang pertanian telah menunjukkan hasil dalam menanggulangi merosotnya produksi akibat serangan jasad pengganggu.  Kebutuhan pestisida akan terus meningkat sebelum ditemukan cara yang lebih efektif di dalam mengendalikan jasad pengganggu.  Disamping itu penggunaan pestisida yang tidak tepat dapat menimbulkan akibat-akibat sampingan yang merugikan karena kebanyakan petani menggunakan pestisida tanpa memperhatikan keadaan biologi, ekologi hama dan penyakit tumbuhan, sehingga apabila penggunaan pestisida sering mendatangkan dampak yang tidak diinginkan.  Salah satu dampak penggunaan pestisida adanya residu pestisida pada hasil pertanian dan tanah pertanian (Ekha, 1988).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemakaian pestisida telah meluas pada beberapa komoditi pertanian, salah satunya komoditi  kentang. Pada tanaman kentang perlakuan insektisida dan fungisida sangat intensif, karena tanaman tersebut sangat peka terhadap serangan hama dan patogen.  Umumnya penyakit-penyakit utama yang banyak menyerang tanaman kentang di Batu Malang adalah penyakit busuk daun Phythopthora infestans (Mont.) de Barry  sedangkan hama utamanya golongan ulat dan kutu Thrips sp.
            Penyakit hawar daun kentang yang disebabkan oleh Phythopthora infestans merupakan salah satu kendala utama budidaya kentang di Batu Malang.  Pendekatan teknik pengendalian penyakit tersebut sampai sekarang sangat tergantung dari penggunaan fungisida yang sangat intensif.  Terdapat banyak fungisida yang sering digunakan oleh petani-petani kentang di Batu, diantaranya mankozeb, propineb, maneb dan methyl thiophanate dan banyak lagi jenis-jenis fungisida yang digunakan berspektrum luas.  Hasil survei tahun 1992 (Abadi, et.al, 1993) pada petani-petani sayuran di Batu Malang mengidentifikasikan penggunaan beberapa fungisida berspektrum luas.  Umumnya petani menyemprot fungisida pada tanaman kentang dengan interval 2-3 kali setiap minggu dengan dosis 1 kg/200 liter air yang setara dengan konsentrasi 5 gram/liter air.  Penyemprotan fungisida dapat ditambah intervalnya bila cuaca dianggap menguntungkan hama dan penyakit.
            Dampak samping penggunaan aplikasi fungisida di lahan tanaman kentang adalah adanya residu yang tertinggal didalam tanah dan  tanaman kentang dan salah satu satu dampak yang banyak menerima residu fungisida adalah tanah.  Semakin banyak tanaman kentang disemprot dengan fungisida maka akan berpengaruh terhadap akumulasi residu pada tanah.  Perilaku fungisida pada tanah dapat mengalami beberapa peristiwa diantaranya, pencucian oleh air tanah sehingga tanah banyak mengandung residu fungisida, mengalami degradasi kimia oleh mikroba, bioakumulasi fungisida oleh mikroba, perubahan tingkat populasi mikroba tanah dan lain-lain. 
            Umumnya efek residu fungisida pada tanah tanaman kentang dapat bertahan selama 30 hari, 90 hari, 120 hari bahkan ada yang sampai bertahan selama 2 tahun (Anonymous, 1993).  Bertahannya residu fungisida pada tanah tanaman kentang diduga karena adanya populasi mikroba tanah yang berfungsi sebagai bioakumulator, dosis yang tinggi dan waktu aplikasi yang sempit serta pengaruh perilaku mikroba tanah terhadap fungisida yang menyebabkan salah satu tinggi rendahnya residu pada tanah.  Masih belum banyak informasi-informasi tingkat residu fungisida pada tanah tanaman kentang dan dampaknya terhadap kehidupan mikroba tanah.  Dalam penelitian ini ditekankan seberapa jauh tingkat residu fungisida methyl thiophanate serta dampaknya terhadap kehidupan jamur tanah.
Berdasarkan uraian di atas maka disusunlah makalah mengenai  tingkat residu fungisida methyl thiophanate (C12H14N4O4S2) dalam tanah dan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.).




1.2.        Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tingkat residu fungisida methyl thiophanate (C12H14N4O4S2) dalam tanah dan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.).

                 



BAB II. LANDASAN TEORI

2.1. Fungisida Methyl Thiophanate
Fungisida adalah pestisida yang secara spesifik membunuh atau menghambat cendawan penyebab penyakit. Fungisida dapat berbentuk cair (paling banyak digunakan), gas, butiran, dan serbuk. Perusahaan penghasil benih biasanya menggunakan fungisida pada benih, umbi, transplan akar, dan organ propagatif lainnya, untuk membunuh cendawan pada bahan yang akan ditanam dan melindungi tanaman muda dari cendawan patogen. Selain itu, penggunaan fungisida dapat digunakan melalui injeksi pada batang, semprotan cair secara langsung, dan dalam bentuk fumigan (berbentuk gas yang disemprotkan).
Methyl Thiophanate  merupakan bahan aktif dari fungisida jenis Dense 70 WP. DENSE 70 WP adalah fungisida sistemik yang bersifat protektif dan kuratif berwarna putih berbentuk tepung yang dapat disuspensikan untuk mengendalikan penyakit pada tanaman padi Merupakan fungisida sistemik yang bekerja secara ganda. Secara preventif mencegah penyakit dan secara kuratif membunuh penyakit yang menyerang tanaman, Memiliki spektrum pengendalian yang luas, sehingga efektif untuk mengendalikan berbagai penyakit pada tanaman, Dapat bertindak sebagai booster padi, efektif untuk meningkatkan hasil dan kualitas padi, Tidak terakumulasi dalam tanaman dan mudah terurai di alam, sehingga dapat digunakan beberapa kali tanpa meninggalkan residu pada tanaman. Fungisida sistemik bekerja secara spesifik melalui perusakan kimia enzim jamur seperti seperti merusak "akar", mengganggu pembentukan tabung kecambah, dan ada juga yang mengganggu pembentukan spora.




.2.2. Tingkat Residu Fungisida Methyl Thiophanate Dalam Tanah Tanaman Kentang.
Hasil pengukuran residu fungisida methyl thiophanate pada sampel tanah tanaman kentang dengan metode UV-Spectrofotometri menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dengan uji t-test 1% dari waktu pengukuran sampel tanah 1 minggu sebelum bibit kentang ditanam (A) dengan waktu pengukuran 6 minggu  sebelum panen kentang (B) tetapi tidak berbeda nyata dengan waktu pengukuran  1 minggu sebelum panen (C).  Kadar residu fungisida methyl thiophanate tertinggi diperoleh dari  waktu  pengukuran 1 minggu sebelum panen (C) sebesar 37,0782 ppm (tabel 1), sedangkan hubungan tingkat rata-rata residu fungisida methyl thiophanate pada tanah tanaman kentang dari 3 kali waktu pengukuran (Humaidi, 2000).
Tingginya residu fungisida methyl thiophanate pada waktu pengukuran 1 minggu sebelum panen diduga  adanya peningkatan konsentrasi dan waktu aplikasi fungisida yang dilakukan oleh petani kentang. Umumnya petani kentang di desa Sumberbrantas mengaplikasikan fungisida methyl thiophanate pada dosis 1 kg/200 liter air per hektar yang setara dengan konsetrasi 5 gram/liter air, sedangkan dosis anjuran 1 kg/500 liter air per hektar yang setara dengan konsentrasi sebesar 2 gram/liter air. Hal ini bisa terjadi karena tanaman kentang varietas granola yang dibudidayakan rentan terhadap serangan Phytophthora infestans  dan didukung dengan lengas nisbi yang cukup tinggi sekitarv 85%.  Dugaan lain terjadi karena waktu penanaman kentang bersamaan dengan waktu musim penghujan  sehingga petani-petani kentang meningkatkan konsentrasi dan waktu aplikasi fungisida methyl thiophanate.  Pendapat ini kemudian diperjelas oleh   Soeriaatmadja et al. (1993) bahwa tingkat residu pestisida pada tanah tanaman kentang sangat tergantung dari beda waktu antara aplikasi pestisida terakhir dengan saat panen.  Semakin pendek beda waktu antara aplikasi pestisida dengan saat panen maka semakin tinggi residu pestisida yang terdeposit dalam tanah. 

Tingginya residu fungisida yang terdeposit dalam tanaman dan tanah selain dipengaruhi oleh beda waktu aplikasi fungisida juga dipengaruhi dari cara dan waktu aplikasi fungisida, frekuensi aplikasi fungisida, dosis setiap aplikasi fungisida dan sifat kestabilan fungisida (Anonymous, 1993). Selanjutnya dikemukakan oleh Touchstone and Dobbin (1977), Silverstein et.al (1991) dan Rao (1994) bahwa besar kecilnya data yang diperoleh dari tingkat residu fungisida methyl thiophanate dalam tanah sangat dipengaruhi oleh konsentrasi awal aplikasi, sifat dan kestabilan bahan aktif serta metode analisis residu yang digunakan.  Kestabilan residu fungisida golongan benzimidazole seperti benomyl, karbendazim (MBC) dan  methyl  thiophanate  mempunyai waktu paruh dalam tanah selama 6 bulan (Ware, 1982 dalam Humaidi 2000).

2.3. Dampak Residu Fungisida Methyl Thiophanate dalam Tanah Terhadap Kehidupan Jamur Tanah.    

Dampak tingkat residu fungisida methyl thiophanate terhadap rata-rata jumlah jamur tanah  menunjukkan perbedaan yang nyata terutama pada waktu pengambilan sampel tanah 1 minggu sebelum bibit kentang ditanam (A) dengan B (tanaman kentang berumur 6 minggu sebelum panen ) tetapi tidak berbeda nyata jika waktu pengambilan sampel tanah 6 minggu sebelum panen kentang (B) dengan waktu pengambilan sampel tanah 1 minggu sebelum panen (C), sedangkan hubungan rata-rata tingkat populasi jamur tanah dengan residu fungisida methyl thiophanate (Humaidi, 2000).
Menurut Deacon (1997) bahwa rendahnya jumlah populasi jamur tanah diduga karena propagule (konidi) mengalami dormansi (resting spores).  Dugaan lain yang  mungkin terjadi kerena persenyawaan bahan aktif terakumulasi ditanah dapat mencegah pertumbuhan  jamur tanah  tanpa membunuh jamur tesebut.  Proses inilah dikenal dengan nama fungistatik.
Menurut Peen et.al (1987) dan Cremlyn (1991) bahwa fungisida methyl thiophanate merupakan jenis fungisida sistemik dengan bahan dasar thiourea.  Methyl thiophanate merupakan analog dari methyl yang diperoleh dari kondensasi potassium thiocyanate, methyl chloroformate dan o-phenylene diamine.  Fungisida ini bersifat sistemik dengan persistensi tinggi didalam tanah atau rhizosphere.  Golongan fungisida methyl thiophanate (benzimidazole) efektif pada dosis rendah terhadap jamur golongan Ascomycetes, Basidiomycetes dan Fungi Imperfecti.
Sedangkan menurut  Sispesteijn (1982)  bahwa pengaruh  fungisida methyl thiophanate pada jamur dimulai dari sel-sel eukaryotik jamur mempunyai bagian yang dinamakan cytoskeleton yang terbagi menjadi 2 unit protein yaitu tubulin dan aktin yang adaptif terhadap variasi dan type pergerakan makromolekul didalam intraseluler didalam organel sel.  Organisasi organel  ini dibutuhkan untuk proses budding (penggabungan) serta flagella ke bagian inti sel.  Tubulin dibagi menjadi 2 rangkaian asam amino yaitu a tubulin dan b tubulin.  Tubulin ini merupakan bagian dari sel jamur.  Jika terdapat molekul-molekul fungisida methyl thiophanate yang bergabung kedalam mikrotubuli maka mikrotubuli bergerak menuju sistem spindle fibre (jaringan berbentuk kumparan).  Proses selanjutnya, spindle fibre gagal dalam mitosis terutama fase metafase menampakkan bagian-bagian kromosom yang imperfek/tidak sempurna. Lebih lanjut menurut Ware (1982);  Liu and Hsiang (1996), fungisida methyl thiophanate  mengganggu metabolisme jamur sebagai akibat adanya distorsi morfologi perkecambahan spora dan menghambat sintesa DNA inti sel.






BAB III. PENUTUP


3.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini antara lain, yaitu :
1.    Penggunaan fungisida methyl thiophanate pada tanaman kentang dapat meningkatkan residu fungisida pada tanah tanaman kentang. Residu fungisida methyl thiophanate tertinggi (37,0782 ppm) diperoleh dari waktu pengukuran 1 minggu sebelum panen meskipun tidak berbeda nyata dengan waktu pengukuran 6 minggu sebelum panen (36,0236 ppm).
2.    Rata-rata populasi jamur tanah akibat adanya residu fungisida methyl thiophanate mengalami penurunan populasi jamur tanah/gram tanah. Rata-rata populasi jamur terendah (12.900 jamur/gram tanah) diperoleh pada waktu pengambilan sampel tanah 1 minggu sebelum panen  meskipun tidak berbeda nyata dengan waktu pengambilan sampel tanah 6 minggu sebelum panen (14.000 jamur/gram tanah).

3.2. Saran
Sebaiknya residu fungisida methyl thiophanate yang terdeposit didalam tanah tanaman kentang dibawah 37,0782 ppm dengan harapan dapat memberikan peranan jamur antagonis yang cukup tinggi didalam menekan populasi patogen tanah.
Sebaiknya petani kentang dalam mengaplikasikan fungisida methyl thiophanate pada dosis anjuran (1 kg/500 liter air) dan dengan waktu aplikasi 7 hari sekali.








DAFTAR PUTAKA



Anonymous. 1993.  Movement of Pesticides in The Enviroment, Extension Toxicology Network, pp. 1-5 . Oregon State University.
Anonim. 2013. Fungisida Dense &0 WP. http://transelektronika.blogspot.co.id/ Diakses 1 April 2016.
Anonym. 2013. Metil Triofanat

Deacon , J. 1997. Modern Mycology, Third Edition, Blackwell Science Ltd. Victoria, Australia.
Humaidi, Faisol. 2000. Tingkat Residu Fungisida Methyl Thiophanate Dalam Tanah  Pada Tanaman Kentang Serta Dampak Terhadap Kehidupan Jamur Tanah Di Batu Malang. Unibraw. Malang.
Sijpestein, A.K. 1982.  Mechanism of Action of Fungicides.  Fungicide resistence in Crop Protection, (Eds. Dekker and S.G. Georgepoulos), pp.1-13. Centre for Agricultural Publising and Documentation, Wageningen.
Ware, G.W . 1978.  Pesticides Theory and Aplication.  W.H. Freeman and Company, San Francisco.